Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei sebagai bentuk penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan belajar kepada rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda, saat pendidikan hanya bisa diakses kalangan bangsawan dan pribumi terpandang.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara tidaklah mudah. Ia kerap dikritik dan diasingkan oleh pemerintah kolonial karena ide dan tulisannya yang tajam, salah satunya melalui artikel “Seandainya Aku Seorang Belanda”. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekadnya untuk memajukan pendidikan. Pada tahun 1922, ia mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta, sebagai bentuk perlawanan intelektual terhadap sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif.
Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran (sekarang Menteri Pendidikan) dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Ia membawa filosofi pendidikan yang terkenal hingga kini: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang artinya di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1956. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 menetapkan tanggal lahirnya, 2 Mei, sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Potret Pendidikan Indonesia Saat Ini
Semangat Ki Hajar Dewantara dalam menjunjung kebebasan berpikir dan pendidikan sebagai alat pembebasan, kini terasa semakin jauh dari kenyataan. Kurikulum yang terus berganti mulai dari KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka, sering diterapkan terburu-buru tanpa kesiapan yang merata. Guru dan siswa harus terus menyesuaikan diri di tengah keterbatasan pelatihan dan infrastruktur.
Meski anggaran pendidikan ditetapkan minimal 20% dari APBN, realisasinya belum menyentuh kebutuhan pokok dunia pendidikan. Banyak sekolah masih rusak, guru honorer bergaji rendah, dan fasilitas belajar tidak memadai. Ketimpangan antara kota dan desa, wilayah barat dan timur Indonesia, terus melebar.
Lebih dari itu, dunia pendidikan kini menghadapi ancaman militerisasi. Wacana pelibatan militer dalam kegiatan kampus, pembatasan kebebasan akademik, serta represi terhadap gerakan mahasiswa, mengikis fungsi pendidikan sebagai ruang berpikir kritis dan merdeka. Pendidikan, alih-alih menjadi alat emansipasi, perlahan berubah menjadi alat kontrol.
Di tengah berbagai krisis tersebut, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat justru lebih disorot daripada reformasi sistem pendidikan itu sendiri. Gizi memang hal yang penting untuk konsentrasi dan tumbuh kembang siswa, namun MBG tidak akan pernah mampu menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Sekolah yang rusak, guru yang tidak sejahtera, kurikulum yang terus berganti, dan kebebasan berpikir yang ditekan tidak akan terselesaikan hanya dengan sepiring nasi bergizi. Tanpa perbaikan sistemik, cita-cita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan sebagai sarana emansipasi tak lebih dari mimpi yang terus diucapkan, namun tak pernah benar-benar diperjuangkan.
Refleksi di Hari Pendidikan Nasional
Peringatan Hari Pendidikan Nasional ini sudah seharusnya menjadi momen refleksi. Saat kita mengingat jasa Ki Hajar Dewantara, kita juga perlu melihat kenyataan bahwa cita-cita besar Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang merdeka, adil, dan membebaskan masih belum benar-benar terwujud.
Pendidikan yang ideal sangat membutuhkan sistem yang berpihak pada rakyat, lingkungan yang mendukung, dan keberanian untuk mendengar suara-suara kritis. Sudah waktunya pendidikan benar-benar dijadikan prioritas, bukan hanya janji dalam pidato atau angka dalam anggaran.
Sebab masa depan bangsa hanya dapat dibangun melalui generasi yang berpikir bebas, sehat secara lahir batin, dan diberdayakan untuk menciptakan perubahan.
No comments:
Post a Comment
Kamu punya kritik dan saran? Tulis melalui kolom komentar di bawah ini ya!